BOGOR, KABARINSPIRASI– Penyakit kanker payudara masih menjadi pembunuh terbesar bagi manusia. Karena itu, masyarakat diimbau untuk tetap rutin memeriksakan diri dan mendapatkan edukasi tentang kanker.
“Diedukasi supaya orang jangan takut diperiksa. Kalau ketahuan di stadium satu kemungkinan sembuh besar. Kebanyakan orang tahu di stadium tiga atau empat, kemungkinan meninggalnya besar,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Bogor, Rabu 2 November 2022.
Budi Gunadi mengatakan masyarakat harus mendapatkan edukasi yang benar agar tidak takut memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan demi mendeteksi dini kanker payudara.
Pemeriksaan terkait kanker payudara tersebut, salah satunya adalah mammografi. Yaitu, tes pemindaian untuk melihat gambaran kelenjar payudara dan jaringan di sekitarnya.
Budi Gunadi mengatakan, dari sebanyak 3.200 rumah sakit di Indonesia, baru sekitar 200 rumah sakit yang memiliki fasilitas mammogram tersebut.
Dari data yang ada, menunjukkan bahwa insiden kanker payudara di Indonesia mencapai 44 per 100.000 orang atau lebih rendah ketimbang negara lain seperti Australia dan Singapura.
Namun, berdasarkan angka fatalitas, orang yang meninggal dunia di Indonesia tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan negara lain.
“Ini karena kita tidak bisa mendeteksi lebih awal. Pemeriksaan mammografi dilakukan di rumah sakit. Rumah sakit kita ada 3.200, yang ada ada mammogram 200,” kata Menkes.
Selain pemeriksaan kanker payudara, Budi Gunadi juga mendorong masyarakat mendapatkan edukasi agar dapat melakukan tes kesehatan lain seperti tekanan darah untuk mendeteksi dini hipertensi.
Dia ingin agar sekitar 300.000 posyandu di Indonesia memiliki alat pengukur tekanan darah mobile yang dilengkapi fitur bluetooth.
Edukasi tersebut kata Budi Gunadi, menjadi bagian upaya promotif dan preventif yang dilakukan Kementerian Kesehatan, guna menjaga orang sehat tetap sehat.
Kementerian Kesehatan katanya, selama ini fokus pada kuratif yang tak lain menyembuhkan orang sakit. Padahal, sambung dia, dari sisi biaya kesehatan secara total maupun kualitas hidup, lebih baik intervensi dilakukan di hulu, bukannya hilir.
“Kalau kita jaga orang jangan sampai cuci darah, itu jauh lebih baik kualitas hidupnya daripada orang sampai cuci darah,” kata Budi Gunadi. ***