Oleh : Hasanuddin Atjo
Pengembangan Kawasan Pangan Nusantara, KPN Talaga Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah menurut beberapa pemerhati layak diapresiasi, terlepas dari plus dan minus desain pengembangannya.
Pasalnya, hanya Sulawesi Tengah yang mendorong wilayah, berada di ALKI II dan juga berhadapan IKN Baru, dijadikan KPN yang secara nasional populer disebut dengan istilah Food Estate yang kini sudah kalah populer dan digeser isu pesta demokrasi 2024.
KPN, dinilai bisa menjadi levarage, atau pengungkit daya saing, jika saja desainnya dirancang secara komprehensif, mempertimbangkan syarat sebagai Food Estate yang notabene telah sukses di Negara Maju sebagai strategi membangun ketahanan dan keamanan pangan.
Pertanyaannya kemudian apakah wilayah lainnya di ALKI II, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Sulawesi Utara tidak tertarik dengan program KPN yang menjadi andalan Pemerintah Pusat.
Selain itu apakah wilayah ini juga tidak manfaatkan keberadaan IKN yang di rencanakan di akhir tahun 2024 secara resmi akan berpindah dari Jakarta ke Panajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur.
Pertanyaan ini, menarik didalami. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa wilayah tersebut lebih fokus meningkatkan daya saing komoditi pangan pada sentra produksi yang sudah ada melalui modernisasi dan cara baru sehingga terstandarisasi dan bisa bersaing.
Juga , secara paralel diprogramkan peningkatan infrastruktur jalan, air bersih, listrik, kawasan industri dan pelabuhan laut maupun pelabuhan udara yang secara akumulatif akan meningkatkan efisiensi menunjang peningkatan daya saing.
Kasus pasokan pangan di Morowali maupun Morowali utara, memenuhi kebutuhan pekerja tambang dan masyarakat umumnya dipasok dari Jawa Timur atau Sulawesi Selatan. Ini karena, wilayah tersebut mampu memenuhi standar permintaan dan harga yang bersaing.
Beberapa waktu yang lalu sempat mengulas bahwa Sulawesi Tengah bisa menjadi “penyangga pangan” bagi IKN dan sekaligus “jembatan penghubung” antara wilayah timur dengan IKN melalui integrasi Tol darat Kasimbar-Tambu dengan Tol laut yang sudah ada.
Persoalan mendasar bahwa syarat sebagai KPN, Harus tersedia areal minimal seluas 20.000 ha dengan tingkat elevasi lahan terkoreksi. Sementara KPN Talaga, tersedia areal sekitar 1000 ha yang akan mengkonversi kawasan hutan jadi kawasan produksi pangan dengan derajat elevasi kurang menunjang.
Disampaikan juga dalam artikel itu sebaiknya wilayah Talaga menjadi Pusat akumulasi maupun distribusi pangan dari wilayah Timur, Selatan dan Utara Sulawesi Tengah dan nantinya bisa mengambil peran KEK Palu, fokus pada industrialisasi pangan.
Karena itu peningkatan daya saing komoditi Pangan di sentra produksi yang sudah ada seperti di Parigi Moutong, Poso, Tolitoli, Buol, Sigi dan Donggala, melalui perbaikan inovasi produksi, infrastruktur dan peningkatan kapasitas SDM harus menjadi prioritas.
Kerjasama Provinsi dan Kabupaten Kota harus terus dibangun, karena Provinsi berdasarkan UU Otonomi tidak memiliki wilayah, tapi memiliki kewenangan sebagai dan sebagai wakil dari Pemerintah Pusat.
Desain dan Rencana Aksi dari KPN Talaga, sebagai bagian dari desain penyangga pangan bagi IKN baru belum terlambat disempurnakan, agar project yang strategis ini lebih mengedepankan aspek outcome daripada output. Filosofi “Kereta Kuda” dalam membangun daerah ini menjadi bagian yang strategis SEMOGA. ***